Sabtu, 24 Juli 2010

RESAHKU YANG TAK BERUJUNG

Ku ulurkan jari jemariku tuk cari sesuatu dalam lubuk hati
Ku hamparkan pandanganku ke Angkasa yang tak berujung
Ku berlari sekuat tenaga tuk mengejar segala asa-Mu
Dan Ku coba menata hati ini dengan harapan menemukan-Mu
Engkau pergi………… Engkau Menghilang……. ……….
Engkau meninggalkan ku dalam kegelapan-Mu
Dimana Diriku……… Dimana Cintaku……. Dimana Hatiku
Dimana…………………..
Engkau seakan musnah dan tak akan kembali.
Semakin ku mengejarmu……Engkau semakin menjauh dari ku
Semakin ku berharap…… Engkau semakin melupakanku
Resahku …………….. Resahku………………..Resahku
Resah yang tak berujung……………….

Kamis, 15 Juli 2010

Sistem Sosial Budaya Indonesia


PENDIDIKAN DI SEKOLAH PENGUSUNG KEBEBASAN
( ANALISA ARTIKEL DARI SUDUT MODERNISASI )

BAB I
PENDAHULUAN
RINGKASAN ARTIKEL
Redaksi Kompas hari Jumat , 9 April 2010 menerbitkan artikel dengan judul Pendidikan di Sekolah Pengusung Kebebasan. Artikel ini memberitakan tentang dua sekolah yang telah mempraktikkan konsep pendidikan yang mengusung Kebebasan. Kreativitas dan kemampuan berpikir kritis saat ini disepakati sebagai pilar utama pengembangan jiwa kewirausahaan ( entrepreneurship ). Seperti yang dipraktikkan oleh dua sekolah yang ada di Yogyakarta yaitu Sekolah Dasar Kanisius Eksperimen Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman yang berdiri sejak tahun 2002 dan Sanggar Anak Alam (Salam) di Nitiprayan, Bantul yang berdiri pada tahun 2000. Kedua sekolah ini mengusung konsep pendidikan yang membebaskan dan berusaha mendobrak kekakuan dalam pola pendidikan.
Nuansa kebebasan ini sengaja ditumbuhkan untuk menghindari tumbuhnya rasa takut pada anak, karena rasa takut yang ada pada diri anak-anak akan memadamkan kreativitas dan daya eksplorasi mereka. Proses pembelajaran sekolah masih mengacu pada kurikulum pemerintah, akan tetapi lebih mengedepankan pengasahan kreativitas, daya eksplorasi anak dan perpaduan integral dari keduanya yang membentuk kemempuan berpikir kritis.
Konsep awal berdirinya sekolah ini adalah pendidikan untuk kelompok anak dari keluarga miskin, akan tetapi keluarga menengah keatas lebih menyukai dan berminat sistem pendidikan seperti ini. Seperti menetapkan hari Sabtu sebagai hari kreativitas. Melalui kegiatan jalan-jalan, anak-anak diarahkan bersosialisasi dengan masyarakat dan alam sekitarnya. Pada hari Senin sampai Kamis, semua siswa diwajibkan mencari pertanyaan diluar pelajaran. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa berasal dari hal-hal yang ditemui sehari-hari atau peristiwa yang menggelitik rasa ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas dengan guru dan juga teman-temannya.
Yang terpenting dalam kegiatan ini adalah bukan jawaban yang diperoleh,tetapi kepekaan anak-anak dalam melihat lingkungannya dan keberanian untuk memunculkan pertanyaan. Kegiatan tingkat sekolah dasar diawali dengan kegiatan berkebun sayur- mayur atau menyiapkan hidangan di dapur. Kegiatan ini mengajak anak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tanpa harus menghafal. Otomatis kepekaan terhadap lingkungan dan alam akan terasah. Setiap hari mereka mengamati perubahan cuaca, fauna sawah, dan perkembangan tanaman yang mereka rawat.
Lokasi atau letak kedua sekolah ini pun unik, yaitu berbaur dengan pemukiman penduduk. Tak ada pagar yang membatasi sekolah dengan masyarakat. Ruang guru, Kelas dan Perpustakaan terdiri dari beberapa rumah tradisional dan dikelilingi oleh sawah dan kebun. Pendidikan yang memerdekakan mengasah kemampuan anak untuk menemukan atau bahkan menciptakan peluang di sekitarnya, hal ini membutuhkan daya kreativitas, eksplorasi dan kepekaan akan permasalahan dalam masyarakat.
Artikel diatas merupakan Modernisasi karena Sistem dan konsep pendidikan yang diajarkan di kedua sekolah tersebut lebih mengedepankan pengembangan kreativitas, eksplorasi dan kepekaan terhadap lingkungan. Hal ini berbeda dengan sistem dan konsep pada sekolah yang ada pada umumnya. Modernisasi memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama adanya fakta bahwa melalui modernisasi manusia mampu mengungkap berbagai potensi yang tersembunyi dan yang tertekan dalam masyarakat pramodern.(Simmel).
BAB II
FAKTOR DAN SYARAT MODERNISASI
Modernisasi menurut Wilbert E. Moore adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional/pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil.
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Adanya penemuan dan perkembangan dibidang IPTEK ( inovasi dan pembaruan ) yaitu dengan Sistem dan konsep pendidikan yang membebaskan dan berusaha mendobrak kekakuan dalam pola pendidikan. Dengan adanya perkembangan proses pembelajaran sekolah yang lebih mengedepankan pengasahan kreativitas, daya eksplorasi anak dan perpaduan integral dari keduanya yang membentuk kemempuan berpikir kritis.
Adanya kemajuan di bidang perekonomian yaitu dengan adanya Kreativitas dan kemampuan berpikir kritis saat ini, yang disepakati sebagai pilar utama pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan Pengembangan entrepreneurship adalah kunci kemajuan. Karena dengan cara ini dapat mengurangi jumlah pengangguran, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis.
Kegiatan tingkat sekolah dasar diawali dengan kegiatan berkebun sayur- mayur atau menyiapkan hidangan di dapur. Kegiatan ini mengajak anak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tanpa harus menghafal. Otomatis kepekaan terhadap lingkungan dan alam akan terasah. Setiap hari mereka mengamati perubahan cuaca, fauna sawah, dan perkembangan tanaman yang mereka rawat. Pendidikan sistem ini akan memajukan masyarakat kita dibidang pertanian.
Dengan dicapainya stabilitas pertahanan dan keamanan dalam kehidupan bermayarakat karena secara politis sistem dan konsep pendidikan kewiraswataan dapat meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.
B. SYARAT – SYARAT MODERNISASI
Menurut Soerjono Soekanto, syarat - syarat suatu modernisasi adalah sebagai berikut :
1. Proses pembelajaran sekolah yang lebih mengedepankan pengasahan kreativitas, daya eksplorasi anak dan perpaduan integral dari keduanya yang membentuk kemempuan berpikir kritis, merupakan cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking). Hal ini menuntut suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana dengan baik.
2. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi , dengan banyaknya masyarakat yang menyukai dan berminat dengan sistem pendidikan yang memerdekakan mengasah kemampuan anak untuk menemukan atau bahkan menciptakan peluang di sekitarnya.
Hal ini membutuhkan daya kreativitas, eksplorasi dan kepekaan akan permasalahan dalam masyarakat. Konsep awal berdirinya sekolah ini adalah pendidikan untuk kelompok anak dari keluarga miskin, akan tetapi keluarga menengah keatas lebih menyukai dan banyak yang berminat dengan sistem pendidikan seperti ini. Hal ini dilakukan secara bertahap, karena menyangkut sistem kepercayaan masyarakat.
BAB III
RESIKO MODERNISASI DAN SOLUSINYA
A. RESIKO MODERNISASI
Sistem pendidikan yang tidak didasari dengan ideologi yang kuat akan menghasilkan lulusan yang gamang dalam menerjemahkan peran dirinya di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya sarjana yang hanya berorientasi pada lapangan pekerjaan, dan tidak mencari jalan keluar dengan menjadi entrepreneur, ataupun social entrepreneur.
Pendidikan kita harus didorong untuk membangun Indonesia dari bawah, bukan untuk menjadi tenaga kerja yang melulu berharap pada investasi asing. Di sini terlihat kesalahan rancang bangun pendidikan nasional, karena mengandung bias kota dan sentralisasi pembangunan. Imbasnya, setelah melewati bangku sekolah dan perguruan, seseorang cenderung akan menuju kota dan pabrik, karena pola modernisasi sudah terinternalisasi dalam alam fikirnya.
Adanya salah Persepsi tentang Pendidikan yang lebih mengutamakan pengembangan jiwa kewirausahaan ( entrepreneurship ). Jika pendidikan wirausaha hanya dimaknai sebagai kegiatan melatih seseorang agar pintar mencari uang dan cepat meraih kekayaan, hasilnya justru akan kontraproduktif. Alih-alih akan mendekatkan masyarakat pada kehidupan sejahtera, langkah seperti itu malah akan memperburuk tatanan ekonomi daerah dan melanggengkan ketimpangan sosial ekonomi.
Adalah kekeliruan besar jika kita melihat pendidikan semata sebagai sistem yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pola industrialisasi yang tercetak dalam cara berfikir positifistik (UN adalah salah satu indikatornya). Bangsa ini tidak perlu mengambil jalan keliru dengan menjadikan pendidikan sebagai mesin pencetak tenaga kerja. Karena itu bukanlah nation dan characterbuilding. Itu adalah robotbuilding. Kecuali para pemimpinnya menginginkan negara ini menjadi negara yang berisikan ratusan juta buruh semata.
Konsep pendidikan yang membebaskan dan berusaha mendobrak kekakuan dalam pola pendidikan apabila tidak ada peraturan yang membatasi akan menimbulkan permasalahan baru seperti kebebasan berpakaian, Permasalahan yang timbul yaitu akan adanya persaingan dalam penampilan para siswa dan memungkinkan akan timbulnya kelompok-kelompok dalam sekolah.
B. SOLUSI
Salah satu langkah jitu untuk meningkatkan mutu pendidikan agar para pelajar kita bisa menjadi pelaku pembangunan yang efektif di masa depan, adalah kontekstualisasi pendidikan. Yang dimaksud dengan kontekstualisasi pendidikan, adalah mengkaitkan segenap pelajaran di sekolah dengan kehidupan nyata, khususnya dengan dinamika pembangunan di daerah.
Yang harus dijadikan visi ke depan adalah pengembangan pendidikan memultiplikasi potensi sumber daya alam ke dalam tangan-tangan yang mampu memanfaatkannya secara bertanggungjawab. Prakondisi untuk memperbaiki pendidikan kita sudah ada. Desentralisasi politik dan pendidikan adalah landasan emas untuk membebaskan pendidikan dari kekangan logika (hubungan industrial).
Yang tinggal diselaraskan adalah cita-cita nasional, dan juga cita-cita daerah. Revitalisasi perguruan strategis seperti IPB juga akan sangat bermanfaat. Menanamkan kompetensi ke dalam diri anak didik adalah satu hal. Tapi membangun karakter dan jiwa adalah tantangan sesungguhnya. Tapi itu jelas waktu yang cukup untuk melakukan otokritik dan mengakui letak kesalahan dunia pendidikan kita.
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan proses pembelajaran sekolah yang lebih mengedepankan pengasahan kreativitas, daya eksplorasi anak dan perpaduan integral dari keduanya yang membentuk kemempuan berpikir kritis. Kreativitas dan kemampuan berpikir kritis saat ini, yang disepakati sebagai pilar utama pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan Pengembangan entrepreneurship adalah kunci kemajuan.
Pendidikan kita harus didorong untuk membangun Indonesia dari bawah, bukan untuk menjadi tenaga kerja yang selalu berharap pada investasi asing. Dan Sistem Pendidikan yang diselaraskan dengan cita-cita nasional, dan juga cita-cita daerah. Revitalisasi pendidikan dengan konsep mengusung kebebasan juga akan sangat bermanfaat. Menanamkan kompetensi ke dalam diri anak didik adalah satu hal. Tapi membangun karakter dan jiwa adalah tantangan sesungguhnya dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta. Rajawali Pers. 2004
http://netsains.com

Sistem Sosial Budaya Indonesia


          TERORISME, PAHAM KEKERASAN DAPAT DILUNAKKAN, IDEOLOGI SULIT
( ANALISA ARTIKEL DARI SUDUT PERMASALAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT )

BAB I
LATAR BELAKANG
A. RINGKASAN KASUS
Persoalan teroris yang terjadi di Indonesia sangat berkaitan dengan idiologi yang di anut oleh para pelakunya. Pemberantasan terorisme melalui pendekatan legal formal seperti operasi polisi tidaklah efektif memupus idiologi tersebut. Karena idiologi yang mereka anut adalah sudah merupakan “harga mati” prinsip tersebut sudah ada daam benak pelakunya, khususnya para napi /tahanan teroris yang tergolong papan atas daam aktivitas gerakan mereka.
Idiologi yang telah dianut anak-anak muda sangatlah susah diberantas karena tidak adanya kemampuan berpikir kritis, sehingga mereka dengan mudah terjebak dalam aliran yang ekstrem dogmatis. Anak – anak muda yang mempunyai potensial itu ternyata tergiur ambil jalan pintas dengan menganggap penegakan syariah Islam sebagai satu –satunya solusi untuk menyelesaiakan masalah kehidupan ini.
Akar permasalahan Terorisme yang muncul di Indonesia selain karena Idiologi , tetapi juga ditimbulkan oleh ketidak adilan pemerintah Indonesia dan kemiskinan yang menimpa masyarakat bawah. Pengikut teroris di Indonesia sangatlah kecil dibandingkan dengan penduduk Indonesia, dan keadaan teroris di seluruh dunia saat ini dalam keadaan terdesak.
Akan tetapi terorisme sulit untuk diberantas tuntas dan selalu bisa tumbuh kembali, hal ini dikarenakan sudah terjadi fiksasi stigma soal Barat atau Amerika Serikat yang menindas umat Islam, meskipun empirik terjadi di negara lain, bukan di Indonesia.
B. PERMASALAHAN SOSIAL
Contoh kasus diatas menggambarkan Idiologi yang dianut oleh para pelaku teroris adalah salah satu bentuk masalah sosial yang telah banyak menjebak para masyarakat Indonesia khususnya anak-anak muda, sehingga tidak dapat berpikir kritis dan realitis. Selain Idiologi ketidak-adilan pemerintah dan kemiskinan juga merupakan akar permasalahan yang memicu timbulnya terorisme yang ada di Indonesia.
BAB II
ANALISA
Menurut Soerjono Soekanto, masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
A. SUMBER MASALAH:
Sumber masalah penyebab terjadinya Terorisme adalah Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan parawisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan untuk pencegahan dan penanggulangannya.
Faktor Sosial, yaitu ketidak adilan itu terjadi di berbagai masyarakat baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Berbagai faktor ketidak adilan tersebut akan memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme.
B. FAKTOR - FAKTOR MASALAH SOSIAL
1. Faktor Ekonomi
Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya.
Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir.
Kemiskinan merupakan ladang subur persemaian benih-benih terorisme dan karenanya bagi negara yang bersungguh-sungguh ingin menyelamatkan negara dari tindakan teror akan memilih jalan membangun kesejahteraan rakyatnya. Biasanya kelompok teroris tumbuh dan berkembang di negara yang kondisi perekonomiannya carut-marut. Mereka kecewa dengan pemerintah yang berkuasa dan melakukan pemberontakan.
2. Faktor Psikologi
Dalam kasus di atas faktor psikologi yang didasarkan atas adanya keinginan untuk mempertahankan keyakinannya sebagai sebuah kebenaran, memegang peranan penting dari berbagai aksi yang dilakukan. Aksi teror yang terjadi belakangan ini adakalanya dikibarkan atas nama agama. Terma jihad dibajak untuk membenarkan aksi mereka.
Idiologi yang dianut oleh para pelaku terorisme adalah suatu realitas yang berangkat dari pemahaman dan keyakinan masing-masing individu terhadap apa yang mereka yakini dan pahami tentang adanya kekuatan dan kebenaran sebuah eksistensi yang lain diluar apa yang dilihat dan terasa olehnya. Idiologi ini mendasari berbagai jenis tindakan yang diambil dalam upaya untuk menjaga keseimbangan. Apabia keseimbangan ini terganggu maka muncul reaksi negative dari indifidu yang bersangkutan.
3. Faktor Kebudayaan
Selain faktor ekonomi, psikologi, faktor kebudayaan juga memegang peranan penting dalam masalah ini. Banyak faktor yang melahirkan aksi terorisme, seperti: minimnya pemahaman agama, tidak sabar dalam berdakwah.
Aksi teror yang terjadi belakangan ini adakalanya dikibarkan atas nama agama. Terma jihad dibajak untuk membenarkan aksi mereka. Tak heran jika wajah Islam remuk-redam di mata dunia. Padahal pemahaman dan praktik jihad yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw dan para sahabat jelas-jelas bertentangan dengan aksi teror. Kebanyakan dari mereka menerima warisan kebudayaan tersebut tanpa diiringi oleh sikap kritis dan proaktif untuk mencari kebenaran yang hakiki sehingga tanpa mereka sadari mereka telah terjebak oleh nilai – nilai yang mengisolasi diri mereka sendiri terhadap berbagai objektif dari sebuah realita kebenaran.
C. SIFAT MASALAH
Masalah sosial diatas, bersifat riil dan juga laten, bersifat riil karena permasalah sosial diatas dapat ditanggulangi ataupun dicegah. Masalah sosial ini timbul karena adanya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, seperti adanya ketidak adilan pemerintah terjadi di berbagai masyarakat baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme.
Dan merupakan bahaya laten ( bahaya tersembunyi) karena Idiologi seseorang merupakan keyakinan yang sangat prinsipil, salah satu pendapat yang didasarkan atas adanya keinginan untuk mempertahankan keyakinannya sebagai sebuah kebenaran, memegang peranan penting dari berbagai aksi yang dilakukan. dan apabila tidak ditangani dan diselesaikan dengan baik, dapat memicu rangkaian tindakan kekerasan untuk memaksakan pembenaran.
BAB III
UPAYA PENANGGULANGAN MASALAH
Dalam menanggapi permasalahan diatas pemerintah mempunyai peranan sangat penting yaitu dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga perlakuan adil terhadap semua daerah yang berada dalam naungan Negara Repubik Indonesia.
Dengan melibatkan masyarakat melalui kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan keberadaan terorisme. Kemampuan aparat untuk mendeteksi, menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi. Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji.
Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme kepada para teroris yang telah ditahan oleh kepolisian . Dengan cara mengajak berdiskusi pada isu tataran aplikatif operasional misalnya soal membunuh, mengebom atau dengan kekerasan lain, dengan begitu para napi/tahanan itu dapat diajak untuk berpikir kritis terhadap berbagai hal.
BAB IV
KESIMPULAN
Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan terorisme. Ini jelas kontras dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Meskipun faktanya, ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengatasnamakan tindakan kekerasannya dengan mengatasnamakan agama. Orang juga menyaksikan bahwa agama sering digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi kekerasan.
Oleh karena itu sulit menjawab pertanyaan, bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan. Padahal, agama baru menjadi konkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Apalagi bila diyakini, bukan agamanya yang “bermasalah”, tetapi manusia pelaku teror itu yang “bermasalah” karena menyalahgunakan pemahaman agamanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.
Berbagai faktor ketidak adilan akan memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar : 1990. Jakarta. Rajawali Pers.
2.Kompas , Selasa 23 Maret 2010



Dan ini adalah sisa postingan saya yang akan saya sembunyikan dan hanya muncul pada saat post page atau link read more.. diklik